Aksi

Aksi
NTB

Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi

Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi

Jumat, 17 Desember 2010

Percayalah Pada Benarnya Nasakom! (Bagian Pertama)

Oleh : Oleh : Ir. Soekarno



Saudara-saudara sekalian,

Kita sekarang ini sudah hampir dua puluh tahun merdeka, 17 Agustus’ 45 kita mengadakan proklamasi dan insya Allah 17 Agustus tahun ini kita akan dua puluh tahun merdeka. Dan kemerdekaan itu adalah hasil dari perjuangan yang bukan dua puluh tahun, tetapi hasil dari perjuangan yang lebih panjang dari dua puluh tahun itu, tergantung dari cara kita menghitungnya; bisa dikatakan sekian puluh tahun, bisa dikatakan sekian ratus tahun.

Kalau kita sekadar mulai dengan tahun 1908, permulaan kita mengadakan organisasi modern, pergerakan, yaitu dengan berdirinya Budi Utomo, maka antara tahun ‘08 dan ’45 adalah 37 tahun. Tetapi jikalau kita hitung dari sejak sultan angung, Sultan Agung dari Mataram, sebab ada dua Sultan Agung , ada Sultan Agung dari Mataram, Yogyakarta, ada Sultan Agung dari Banten, dua-duanya pejuang; Sultan Agung dari Yogya itu dinamakan hajejuluk, menamakan diri Sultan Agung Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Cokrokusumo; Sultan Agung yang dari Banten menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa, beliau akan membuat kolam Indah. Pembuat kolam indah, maka beliau menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa. Jika kita hitung perjuangan kita untuk mencapai kemerdekaan sejak saat-saat Sultan Agung Hanyokrokusumo menggempur Jakarta atau Sultan Agung Tirtayasa menggempur Jakarta, maka perjuangan kemerdekaan kita itu lebih dari tiga abad. Sultan Agung dua itu diikuti oleh pejuang-pejuang yang lain, oleh Suropati, Joko Untung Suropati, diikuti oleh Trunojoyo, diikuti oleh Sultan Hasanuddin, diikuti oleh Diponegoro, diikuti oleh Tuanku Imam Bonjol, diikuti oleh Teuku Umar, atau Teuku Cik Ditiro, diikuti oleh Pattimura, diikuti oleh gerakan kita yang terkenal di abad ke-20 ini; maka total perjuangan kita lebih dari tiga abad dan baru pada tanggal 17 Agustus ’45 kita dapat mengadakan proklamasi kemerdekaan.

Pernah saya kupas, apa sebab perjuangan-perjuangan yang terdahulu, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Suropati, Trunojoyo, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Dipenogoro, dan lain-lain gagal, apa sebab tak berhasil mengusir kekuasaan Belanda atau imperialis Belanda dari Indonesia.

Maka jawaban saya selalu ialah, oleh karena Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Trunojoyo, Suropati, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain sebagainya itu, perjuangannya sudah didasarkan atas persatuan dan kesatuan perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Betapa hebatnya pun Diponegoro menjalankan ia punya perjuangan, ia tidak berhasil memerdekakan Indonesia, oleh karena perjuangannya hanya disandarkan atas kekuatan rakyat di pulau Jawa saja. Bagaimanapun Sultan Hasanuddin berjuang—demikian hebatnya sehingga Cornelis Speelman menamakan dia “de jonge haan van her Oostern,” ayam jantan muda di alam timur. Notabene ayam jantan muda itu juga salah satu titel dari seorang raja kita yang hebat, yaitu Hayam Wuruk, majapahit. Hayam wuruk artinya ayam jantan muda; Speelman menamakan Sultan Hasanuddin : “de jonge haan”— tetapi toh perjuangannya tidak berhasil, tidak berhasil mengusir Belanda, oleh karena tidak disandarkan atas seluruh Rakyat Indonesia. Demikian pula Teuku Umar, demikian pula Tuanku Imam Bonjol, demikian pula lain-lain pahlawan kita. ini harus menjadi pelajaran bagi kita, pelajaran yang sudah ditarik oleh kita menentang imperialism, perjuangan kita memerdekakan Indonesia harus disandarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia seluruhnya, dengan tidak mengenal suku, tidak mengenal agama, tidak mengenal waktu.

Kita pada hari ini memperingati hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1965. Ya, memang pada tanggal 1 Juni 1945, dus sebelum kita mengadakan proklamasi Kemerdekaan Indonesia, saya telah membuat pidato mengusulkan Pancasila kepada pemimpin-pemimpin Indonesia, agar supaya Pancasila itu dijadikan dasar Negara Indonesia Merdeka. Dan, saudara-saudara, tatkala saya memikir-mikirkan apa yang akan aku usulkan ke hadapan para pemimpin rakyat Indonesia, satu hal yang menjadi pegangan teguh bagi saya, yaitu bahwa Persatuan Indonesia, kesatuan Indonesialah, pokok dari segala pokok. Kita hendak mengadakan Indonesia Merdeka pada waktu itu , dan pada waktu itu, sebelum aku mengadakan Pidato Pancasila, telah menjadi keyakinan di dalam kalbuku, keyakinan, ilmu-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin, bahwa kemerdekaan kita yang akan datang itu hanya dapat dipertahankan abadi, jikalau kemerdekaan kita itu didasarkan atas kesatuan bangsa Indonesia.

Lebih dahulu aku memberi penjelasan. Ini saya melihat beberapa mata dari wanita-wanita itu—tatkala aku menyebutkan ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin—-kelihatan bersinar-sinar, tetapi mengandung pertanyaan. Apa bedanya ilmu-yakin, , ainul-yakin, hakkul-yakin? hakkul-yakin itu keyakinan yang sudah seyakin-yakinnya sepanjang pikiran, sepanjang ‘ilm, sepanjang ilmu. Tempo hari disini saya pernah melukiskan sebagai berikut: aku berdiri disini, umpamanya aku berdiri disini, tidak ada gedung ini, aku berdiri disini, kemudian dibelakang kampung sana itu aku melihat asap mengepul, dibelakang kampung sana aku melihat asap mengepul. Ilmuku, pikiranku berkata, tidak ada asap kalau tidak ada api, dus aku yakin, bahwa di belakang kampung itu ada api; tetapi keyakinanku itu sekadar hasil dari ‘ilm, pikiran, ilmu. Dengan Ilmu-yakin aku berani mengatakan, bahwa di belakang kampung itu ada api.

Tapi mungkin, ya mungkin, matakulah yang salah, mataku sedang menderita penyakit yang dinamakan penyakit hallucinatie, hallucinatie melihat barang tetapi sebetulnya tidak ada. Mengira melihat asap, tetapi sebetulnya tidak ada, sebagaimana orang di padang pasir jikalau panas sepanas-panasnya dan dia sedang menderita dahaga, huh, matanya melihat di tepi langit itu seperti ada telaga, dia mengira disana ada telaga, padahal tidak ada, wong padang pasir. Tetapi dia punya mata melihat telaga. Itu yang biasa dinamakan Fatamorgana. Jadi si orang itu melihat fatamorgana, fatamorgana, bahwa ditepi langit sana itu ada telaga, air sejuk dan dia yang menderita dahaga itu bukan main, ya, ingin meminum air telaga itu, terus dia lari kesana, tetapi lari punya lari, tidak ada telaga air sejuk disana itu.

Nah, saya pindahkan kepada tamsilku itu tadi. Meskipun aku melihat asap di belakang kampung, mungkin matakulah yang salah, mungkin mataku melihat asap seperti orang itu di padang pasir melihat talaga, tetapi sebenarnya tidak ada asap, sehingga keyakinanku bahwa di belakang kampung itu api— sebab akalku berkata ada asap ada api, sehingga keyakinanku di belakang kampung itu ada api —adalah sebenarnya keyakinan yang salah, sehingga ilmul-yakin itu satu keyakinan yang bertaraf paling rendah.

Kemudia ainul-yakin. Aku melihat asap di belakang kampung dan aku berkata di sana itu tentu ada api, ilmul-yakin. Tetapi aku berjalan, aku pergi ke sana, pergi ke belakang kampung itu, ee, benar-benar aku melihat api. Bukan hanya aku melihat asap, aku melihat api, dan sekarang aku berkata, dengan ainul –yakin aku boleh berkata bahwa ada api, seba aku melihat api. Tadi aku sekedar melihat asap, sekarang aku melihat api, aku pergi ke belakang kampung, aku melihat api; benar ilmiah tadi itu benar, yah, ini ainul-yakin. Di belakang kampung itu ada api, karena mataku melihat api.

Tapi keyakinan ini, nomor dua ini masih bisa salah, mungkin mataku yang masih salah, mataku yang tadi melihat asap, masih kabur, sekarang mengira melihat api, padahal bukan api. Ainul-yakin lebih tinggi tarafnya daripada ilmul-yakin, tetapi belum keyakinan yang setinggi-tingginya, sebab mungkin mataku masih salah. Sekarang singsingkan kupunya lengan baju. Aku melihat api, aku masukkan tanganku kepada barang yang aku sangka api itu, oo panasnya bukan main, betul-betul ini api, jadi bukan penglihatan matuku saja, tetapi benar-benar ini api sebab tanganku terbakar. Hakkul-yakin, ini api. Nah, saudara-saudara, sudah mengerti sekarang perbedaan antara ilmul-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin?

Nah, pada waktu aku keesokan harinya hendak mengucapkan pidato di hadapan sidang pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia untuk mengusulkan dasar-dasar Negara, pada waktu aku telah hakkul-yakin bahwa kemerdekaan hanya dapat dipertahankan abadi dan kekal, sekali merdeka tetap merdeka, jikalau didasarkan atas persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia, maka aku mohon lebih dari ke- hakkul-yakin- an. Dan aku telah pernah ceritakan di sini, malam-malam itu aku keluar dari rumah—rumah yang kudiami pada waktu itu, yaitu Pengangsaan Timur 56, yang sekarang menjadi Gedung Pola— pada waktu itu aku keluar dari rumah, pergi ke belakang rumah, dan aku menengadahkan wajah mukaku dan hatiku kepada Allah SWT. Beribu-ribu bintang gemerlapan pada waktu itu, bintang bulan Mei/ Juni yang sedang tiada hujan tiada awan, angkasa bersih, beribu-ribu bintang di langit dan aku menekukkan lutut (Presiden menangis tersedu-sedu—red.), maaf… kalau aku ingat ini selalu aku terharu. Ya Allah, ya Rabi: aku tekukkan lututku, aku menengadah ke langit, aku kirimkan permohonanku dibalik, di belakangnya bintang yang beribu-ribu itu kepada Alla SWT : Ya Tuhan, ya Allah ya Rabi, berikanlah ilham kepadaku. Besok pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Negara Indonesia Merdeka. Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, ya Allah ya Rabi, berikanlah petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang harus ku kemukakan. Apakah dasar-dasar lain itu?

Sesudah aku memohon yang demikian, saudara-saudara, aku masuk lagi ke rumah, berbaring di tempat pembaringan, menenangkan aku punya pikiran dan aku tertidur. Dan, saudara-saudara, tatkala pagi-pagi aku banging, aku telah mendapat ilham : Pancasil. Ilha itu, saudara-saudara, bisa diberikan oleh Tuhan kepada siapa pun, bukan hanya kepada Nabi, tidak. Yang diberikan kepada Nabi aadallah Wahyu, kalau kepada manusia biasa, setiap-tiap manusia bisa mendapat ilham. Engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham— yang “silo,” anak kecil itu—engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, Yo Chairul Saleh bisa mendapat Ilham, engkau Jeng Sukahar bisa mendapat ilham, engkau saudariku dari Sulawesi Selatan bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, kita semuanya bisa mendapat ilham, yaitu pikiran yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Seperti kukatakan tadi tatkala aku pagi-pagi tanggal 1 Juni bangun hendak sembahyang subuh, pada waktu itu aku telah mendapat ilham, pikiran yang nanti akan aku usulkan di hadapan rapat para pemimpin, ialah Pancasila. Dan nomor satu, oleh karena aku mendapat ilham itu karena kau mohon kepada Allah SWT, aku taruh sebagai sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Kebangsaan Indonesia, Persatuan bangsa Indonesia, tersebar diatas kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, persatuan yang kompak sekompak-kompkanya. Kemudian baru yang lain-lain, saudara-saudara, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Pancasil, saudara-saudara, saya usulkan kepada sidang pada tanggal 1 Juni itu dan syukur Alhamdulillah diterima dengan segera, sekaligus oleh sidang.

Saya cerita, ya. Siapa yang paling pertama di antara hadirin dan hadirat pada waktu itu yang mengusulkan agar Bung Karno diterima? Almarhum Ki Hajar Dewantara. Padahal tadinya, tadinya sebelum aku, almarhum Ki Hajar Dewantara juga bicara dan mengusulkan beberapa dasar lain. Sebelum aku pidato itu ada pemimpin-pemimpin lain berpidato, almarhum Ki Bagus Hadikusumo berpidato, Ki Hajar Dewantara berpidato, Bung Hatta, Mohammad Hatta berpidato, banyak lagi berpidato, mengusulkan dasar-dasar, kemudian dipersilahkanlah Bung Karno berpidato. Pada waktu itu yang memegang palu ialah almarhum Dr. Rajiman Wedyodiningrat, yang sudah mangkat. Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Sesudah lain-lain pemimpin berpidato, maka sekarang Bung Karno dipersilahkan berpidato, dan pada waktu aku mulai berpidato itu, aku sekali lagi mengucap Bismillah, Bismillah, oleh karena aku merasa bahwa apa yang aku katakab nanti ialah ilham yang Tuhan berikan kepadaku (Presiden terharu dan tersedu-sedu—Red). Bismillah, aku anjurkan : Pancasila. Dan sesudah aku pidato, Ki Hajar Dewantara minta bicara, dan beliau mengajurkan kepada seluruh sidang: saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini. Sejak dari saat itulah, saudara-saudara, Pancasila resmi menjadi dasar Negara Indonesia yang akan kita proklamirkan.

17 Agustus ’45 datang, proklamasi kemerdekaan diucapkan juga di Penganggsaan Timur 56. 18 Agustus ’45, satu hari kemudian diadakan lagi sidang seluruh pemimpin Indonesia dan di situ ditetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang kemarinnya diproklamirkan itu. Undang-undang Dasar Republik Indonesia disahkan pada tanggal 18 Agustus ’45 dan di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar itu —Undang-undang Dasar ’45, Undang-undang Dasar yang kita kenal semuanya—tertulisah dengan nyata unsur-unsur Pancasila itu, saudara-saudara. Dan berkat Pancasila itu, saudara-saudara, sampai hari ini Alhamdulillah Republik Indonesia masih berdiri teguh, meskipu Republik Indonesia ini dicoba oleh musuh dihancurkan dengan macam-macam jalan; dicoba dihancurkan dengan aksi militer yang kedua, tahun ’48, dicoba dengann subversi macam-macam, dicoba dengan pemberontakan-pemberontakan PRRI/Permesta dan RMS, dicoba dengan segala hal, tetapi Republik Indonesia tetap berdiri kuat, karena Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

Dan, saudara-saudara, di dalam pidatoku waktu aku menganjurkan Pancasila itu, aku juga telah berkata : Pancasila dapat kita peras menjadi tiga, Trisila : Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tiga. Kalau kita persatukan Kebangsaan dengan Perikemanusiaan—sila dua dan sila tiga kita peras menjadi satu—menjadilah ia Sosio-nasionalisme, dan jikalau kita peras sila keempat, Kedaulatan Rakyat dengan sila kelima, Keadilan Sosial, perasannya itu menjadi Sosio-demokrasi, sehingga perasan dari lima ini menjadi tiga: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi. Tetapi aku lantas berkata kepada sidang, barangkali tuan-tuan toh belum senang kepada angka tiga, barangkali tuan-tuan senang kepada kepada angka satu, wahai, kataku, peraslah tiga ini menjadi satu, menjadi Ekasila—Eka artinya satu—dan apakah Ekasila itu? Ekasila itu adalah gotong-royong. Negara Republik Indonesia berdasarkan gotong-royong, gotong-royong seluruh rakyat Indonesia, gotong-royong rakyat di Sabang sampai rakyat di Merauke. Dan aku ulangi, saudara-saudara, dengan prinsip gotong-royong ini, dengan kenyataan gotong-royong ini, kita makin lama makin kuat.

*) Amanat–Indotrinasi Presiden Soekarno, pada pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, 1 Juni 1965, di Istora Senayan, Jakarta.

Dituding Membakar Kampus, Nasib 12 Mahasiswa Tidak Jelas

Karena dituding melakukan pembakaran di kampus, nasib 12 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Maluku Utara sedang digantung oleh pihak rektorat.

Ke-12 mahasiswa itu adalah Jamaludin A.Rahman, Din Sangaji, Muhammad said Abdul latif, LR Selatan, Rudianto sapsuha, andhika Syahputra, Mochtar, Ismit Nengo, M. Mufti, Samsul, Wahyu Magonofirto, dan Sam Hunter.

Pasca kejadian kebakaran tanggal 28 oktober, ke-12 mahasiswa itu tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pengurusan administrasi di kampus.

Akan tetapi, pihak mahasiswa menuding pihak rektor hanya mencari-cari alasan untuk mempersulit mereka dalam pengurusan akademik, sehingga juga sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti perkuliahan.

Dua orang lainnya, yaitu Jamaludin A. Rahman dan Din Sangaji, dilarang untuk mengikuti ujian skripsi.

Jamaludin A.Rahman mengganggap pihaknya telah menjadi korban tudingan dari pihak, meskipun belum ada bukti kuat mengenai keterlibatan mereka.

Ia pun meminta penjelasan dari pihak rektorat terkait nasib kegiatan akademik mereka dan sekaligus meminta pembuktian terkait tudingan rektor.

Pembakaran Kampus

Dua minggu sebelum kejadian kebakaran, mahasiswa Universitas Muhammadiyah sedang sedang melakukan perlawanan terhadap kebijakan rektor yang dianggap merugikan mahasiswa.

Pada tanggal 28 oktober itu, mereka sedang menggelar aksi di kampus, namun tiba-tiba terjadi kebakaran di lantai tiga.

Karena kebakaran itu melalap ruangan belajar mereka, maka mahasiswa ini pun bergegas ke lantai tiga untuk menyelamatkan barang-barang mereka.

Dari kejadian itulah muncul tudingan soal mahasiswa yang melakukan pembakaran kampus itu.

Akan tetapi, para mahasiswa menyakini bahwa ini hanya merupakan alibi untuk mematikan demokrasi dan kritisisme mahasiswa di dalam kampus.

Partai Kiri Menang Besar Di Pemilu Lokal India

www.berdikarionline.com

Rakyat di negara bagian Indrapura, India, memberikan dukungan besar kepada front kiri, sekaligus memberikan kemenangan telak bagi kaum kiri menjelang pemilu kunci di wilayah Bengal Barat.

Dalam pemilihan pekan lalu front kiri, yang mendapat dukungan dari Partai Komunis India-Marxist (CPI-M), memenangkan 13 dari 15 kotamadya/kabupaten, dan sekaligus menendang keluar lima walikota dari partai kongres.

Setelah hasil pemilihan sudah dapat dipastikan pada hari Rabu, Politbiro CPI-M menyambut kemenangan menentukan ini “sebagai konfirmasi atas dukungan rakyat Indrapura terhadap CPI-M da Front Kiri”.

Kemenangan ini sekaligus mementahkan kesimpulan ahli politik kanan, bahwa front kiri sudah memasuki babak kejatuhan setelah hasil buruk dalam pemilihan lokal di Bengal Barat dan Kerala pada awal tahun ini.

Pemerintahan Front kiri di Bengal barat sedang berhadapan dengan tantangan baru dari kaum populis Trinamool congres, yang merupakan aliansi antara kaum komunalis dengan kaum maois.

Warga Jual Kembali Tabung Gas 3 Kilogram Yang Dibagikan Pemerintah

Kabar Rakyat
Oleh : Ratno Budi



Karena trauma dengan ledakan tabung gas 3 kilogram akhir-akhir ini, sejumlah warga di Bangkinan, Riau, menjual kembali tabung gas-nya. Padahal, pihak pemerintah sudah melakukan sosialisasi mengenai cara pemakaian kompor dan tabung gas 3 kilogram.

Rina, seorang warga Bangkinan yang ditemui Berdikari Online, menyampaikan kekhawatirannya untuk menggunakan tabung gas kilogram. “Saya tidak memakainya, takut meledak,” katanya.

Tabung gas 3 kilogram itu dibagi-bagian secara gratis oleh pemerintah kepada masyarakat, sebagai bagian dari program konversi dari minyak ke gas. Namun, karena takut terjadi ledakan, sebagian warga tidak mempergunakan gas tersebut.

Menurut pengakuan Rina, beberapa warga telah menjual tabung gasnya karena juga tidak digunakan dan karena desakan ekonomi.

“Saya pun berniat menjual tabung gas yang saya punya kalau ada yang mau beli,” katanya.

Rina mengaku lebih suka menggunakan minyak tanah, kendati harganya cukup mahal dan sudah jarang ditemukan di pangkalan. “Kalau tidak ada minyak tanah, kami lebih memilih menggunakan kayu bakar,” tegasnya.

Biasanya, hasil penjualan tabung gas 3 kilogram ini dipergunakan untuk menambah belanja untuk kebutuhan dapur.

Hal serupa juga dilakukan Jumalis, seorang warga Lenggini, Bangkinan, yang mengaku telah menjual tabung gas 3 kilogram miliknya hanya tiga hari setelah dibagi-bagikan oleh pihak kelurahan.

Jumalis juga lebih memilih menggunakan minyak tanah dan sesekali menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan masak-memasak di rumahnya. “Kalau menggunakan minyak tanah, kami merasa lebih sederhana dan lebih aman,” katanya.

Pemerintah kurang siap menjalankan konversi

Di tempat terpisah, Ketua Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Pekanbaru Achyardi, SE menyatakan bahwa pemerintah tidak siap dalam menjalankan program konversi energi dari minyak tanah ke gas.

Achyardi mengatakan, program konversi mestinya memerlukan beberapa tahap, seperti sosialisasi dan uji coba, hingga nantinya masyarakat benar-benar sudah memahami dan mengerti dengan penggunaan kompor gas.

Selain itu, tambah Achyardi, pemerintah membuat tabung gas 3 kilogram dengan kualitas yang sangat buruk, sehingga mudah mengalami kebocoran dan kerusakan.

Ditambah lagi, pemerinta kurang melakukan kontrol terhadap pasar dan mekanisme distribusi tabung gas 3 kilogram ini, sehingga rawan sekali terjadi penyelewengan dan pemalsuan.

Lebih jauh, Achyardi menambahkan bahwa faktor kemiskinan juga berkontribusi besar terhadap maraknya ledakan gas. “Orang miskin terkadang sulit untuk membeli aksesori pelengkap dan pengaman kompor,” ungkapnya.

Mapala Dituntut Kritis Terhadap Kebijakan Di Bidang Lingkungan

Kabar Rakyat

Pengamat lingkungan Veronica A Kumurur MSi mengajak organisasi mahasiswa pencinta alam (Mapala) untuk bertindak kritis terhadap berbagai produk kebijakan pemerintah di bidang lingkungan.

Pernyataan ini disampaikan oleh Veronika A Kumumur saat workshop mengenai peningkatan kualitas dan peran mahasiswa pencinta alam (MAPALA), yang diselenggarakan oleh Pusat Peneliti Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Universitas Pattimura Ambon, di Ambon.

Acara ini diikuti organisas Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) dan Kelompok Pencinta Alam (KPA) se-kota Ambon.

Selain itu, Veronica Kumurur juga menyinggung soal prinsip dasar pengelolaan lingkungan alam, yaitu terjalinnya interaksi yang baik antara subsistem alam, subsistem buatan dan subsistem sosial.

Jika interaksi itu tidak terjadi, maka hal itu diyakini oleh Veronica sebagai penyebab terjadinya bencana alam, pencemaran, dan kemiskinan.

Sementara itu, pembicara lainnya, yaitu Dr. Ir. P. J. Kunu menegaskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup.

“Intinya, di sini, adalah soal perilaku manusia,” ujarnya.

Salah produksi kebijakan pemerintah yang disorot dalam diskusi ini adalah Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut salah seorang peserta, yaitu Nuzul Lulang dari Kadal Adventure Club, UU PPLH tersebut kurang menyebutkan pengaturan terhadap korporasi asing, padahal korporasi asing punya kontribusi sangat besar dalam pengrusakan lingkungan.

Senin, 18 Oktober 2010

Rezim SBY Gagal Tegakkan Keberdaulatan SDA

Senin 18 Oktober 2010
Menyambut Hari Anti Kemiskinan dan Hari Pangan Sedunia sekitar 70 massa yang tergabunng dari 7 ormass yang tergabung dalam Gerakan Rakyat untuk Kemerdekaan Nasional (GERAK-NASIONAL NTB) yang terdiri dari LMND, PRD, STN, SRMI, AMSI, FKPPMS, FPM2SD melakukan aksi mimbar bebas didepan bundaran BI Kota Mataram. Sebelumnya massa aksi memulai aksinya di depan Universitas pertanian UNRAM sekitar pukul 09.00 pagi, massa aksi ini kemudian berorasi bergantian di depan Kampus sambil membagi buku Gurita Cikeas. Korlap aksi Iqbal mengatakan bahwa kegagalan SBY dalam mengentaskan kemiskinan dan kecukupan pangan nasional akibat ketidak berdaulatan Negara terhadap sector sumber daya alam yang selama ini masih di kuasai oleh asing (Kapital). Setelah berorasi selama 1 jam massa kemudian berjalan menuju perempatan Bundaran BI sambil menyanyikan lagu Mars GERAKAN-NASIONAL dan mnyuarakan yel – yel (SBY : kamu gagal menghapus kemiskinan, SBY : kamu gagal sediakan pangan rakyat). Puluhan massa aksi ini kemudian mengkampanyekan program – program yang gagal yang dibentuk oleh rezim SBY selama berkuasa pada jilid II. Program seperti MDGs yang merupakan produk capital, mahalnya biaya pendidikan, investasi yang merampas tanah rakyat.
Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTB menyebutkan potensi lahan pertanian di NTB seluas 1.109.599 hektare, sejauh ini baru dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan seluas 497.893 hektare. Kita bisa melihat tinggal setengah lahan potensi pertanian yang tidak bisa dimanfaatkan di NTB malahan Pemda NTB mengolah pariwisata yang dalihnya tentu akan menarik Investasi sehingga makin tergusurnya kaum tani, pedagang asongan dan akan lebih meningkatkan perampasan tanah masyarakat demi kepentingan asing (NEOLIBERAL).
Kasus korupsi Bank Century yang memakan Trilyunan uang rakyat sampai hari ini pun kehilangan kabar dan tindak lanjutnya pun belum kita ketahui. Sementara itu Ahmad Rifai dari PRD NTB mengatakan kondisi Indonesia semakin terpuruk akibat semakin menguatnya modal asing yang terus digelontorkan oleh rezim SBY. Selanjutnya Rifai menegaskan bahwa bahwa kita harus berdaulat terhadap SDA untuk menjawab segala persoalan kemiskina ini.
Beberapa persoalan yang masih terjadi di lingkaran social masyarakat
Selanjutnya korlap aksi menegaskan 14 kriteria miskin harus di tolak karena tidak berbobot, Pemerintah harus menjamin kesediaan pangan nasional dengan memaksimalkan sector pertanian yang ada di Indonesia dengan pemberian modal dan teknologi yang dikelola secara kolektif kepada kaum tani dan mendorong kearah industrialisasi. Reorientasi pembangunan Nasional dan Daerah dari pertambangan menuju pertanian, perkebunan,, peternakan, perikanan dan sector – sector unggul lainnya untuk kesejahteraan rakyat dan usut tuntas kasus century.
Dari fakta-fakta tersebut jelas terlihat kegagalan SBY atas kebergantungan kita yang besar terhadap pangan impor/modal asing bisa menimbulkan persoalan lain yang lebih berat ketika kita benar-benar tidak berupaya untuk bisa swasembada pangan Menjadi Negara Mandiri. Padahal potensi yang kita miliki sangat besar. Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah harus segera bertindak mengatasi persoalan ini dengan menjadi Negara yang mandiri.
Setelah selama 2 jam berorasi massa aksi membubarkan diri dengan tertib.

Rezim SBY Gagal Tegakkan Keberdaulatan Terhadap SDA

Rezim SBY sudah Dua kali terpilih menjadi penguasa di NKRI dan dua kali pula dia mewujudkan watak aslinya (pro Asing/NEOLIBERALISME) dengan menjalankan segala bentuk kebijakan neoliberal seutuhnya, buktinya derajat pelaksanaan ekonomi neoliberal saat ini menunjukkan, bahwa di beberapa sektor ekonomi yang penting, modal asing telah mengambil porsi yang lebih besar dibanding modal dalam negeri, misalnya jenis tambang dan migas (± 80%), bank (± 50%), industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal. Perusahaan asing juga menguasai sektor perkebunan, ritel, telekomunikasi, air minum, dan sektor strategis lainnya.

Kita kaya akan SDA namun Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN. Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900 miliar.

Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar). Disamping itu NTB juga mengalami areal tanaman pangan yang puso mencapai 41.851 hektare. jenis padi sawah yang puso tercatat 6.424 hektare yang tersebar di delapan kabupaten/kota, kecuali Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara dan banyak lagi jenis lainnya.

Ekonomi rakyat, yang sekarang ini bertumpu pada pertanian dan usaha-usaha kecil (UKM, industri rumah tangga, dan usaha informal), semakin hancur akibat invasi dari retail-retail bermodal besar, yang sudah bisa masuk ke kampung-kampung.. Dalam hal pasar ini, sebuah data menunjukkan, bahwa ekonomi nasional atau ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar nasional, sementara korporasi besar asing dan domestik menguasai 80%.
Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTB menyebutkan potensi lahan pertanian di NTB seluas 1.109.599 hektare, sejauh ini baru dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan seluas 497.893 hektare. Kita bisa melihat tinggal setengah lahan potensi pertanian yang tidak bisa dimanfaatkan di NTB malahan Pemda NTB mengolah pariwisata yang dalihnya tentu akan menarik Investasi sehingga makin tergusurnya kaum tani, pedagang asongan dan akan lebih meningkatkan perampasan tanah masyarakat demi kepentingan asing (NEOLIBERAL).
Belum lagi korupsi yang merusak ekonomi nasional seperti rayap yang memakan tiang-tiang bangunan. Tidak terhitung berapa jumlah anggaran negara yang dimakan koruptor tiap tahunnya, dan itu terjadi merata di seluruh departemen negara, di seluruh tingkatan (pusat hingga daerah), di seluruh pelosok nusantara. Reshuffle cabinet yang hanya akan menjadi tambal sulam politik, sekaligus untuk menata kembali koalisi pendukung pemerintah yang sempat “kacau-balau” karena persoalan Century. Dipastikan, SBY akan menjadikan “reshuffle” sebabagi alat untuk bargain politik dengan rekan-rekan koalisinya, termasuk merangkul kekuatan dari luar untuk bergabung.
Disamping itu juga mahalnya biaya pendidikan yang disebabkan kurangnya anggaran terhadap pendidikan menyebabkan banyaknya siswa yang putus sekolah disebabkan karena kemiskinan karena tidak mampu menanggung biaya pendidikan khususnya anak para petani serta kurangnya lapangan kerja yang menimbulkan pengangguran baik pengangguran terdidik maupun tidak terdidik. Dalam pasal 31 UUD 1945 telah tercantum bahwa : Negara bertanggung jawab atas hak setiap warga Negara untuk mendapat pendidikan setinggi – tingginya. Apakah kita sekarang tidak mau merubah diri kita atau diam tertindas.
Dari fakta-fakta tersebut jelas terlihat kegagalan SBY atas kebergantungan kita yang besar terhadap pangan impor bisa menimbulkan persoalan lain yang lebih berat ketika kita benar-benar tidak berupaya untuk bisa swasembada pangan Menjadi Negara Mandiri. Padahal potensi yang kita miliki sangat besar. Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah harus segera bertindak mengatasi persoalan ini dengan menjadi Negara yang mandiri.
Untuk itu kami dari Gerakan untuk Kemerdekaan Nasional Nusa Tenggara Barat (GERAK-NASIONAL NTB) menyatakan sikap :
1. Tolak 14 kriteria miskin versi BPS
2. Tolak skema pembangunan model MDGs, itu adalah skema jadi-jadian yang tidak menjawab kemiskinan.
3. Tuntut Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati untuk menaikkan anggaran pendidikan dan stop pungutan liar bagi siswa yang tidak mampu
4. Menolak bentuk – bentuk upaya memanipulasi kemiskinan rakyat demi proyek-proyek seperti SJSN yang tidak mampu selesaikan problem kesehatan rakyat.
5. Transparansi dan akuntabilitas dari sector pertambangan.
6. Usut tuntas kasus Bank Century
7. Pemerintah harus menjamin kesediaan pangan nasional dengan memaksimalkan sector pertanian yang ada di Indonesia dengan pemberian modal dan teknologi yang dikelola secara kolektif kepada kaum tani dan mendorong kearah industrialisasi.
8. Reorientasi pembangunan Nasional dan Daerah dari pertambangan menuju pertanian, perkebunan,, peternakan, perikanan dan sector – sector unggul lainnya untuk kesejahteraan rakyat

Gerakan untuk Kemerdekaan Nasional (GERAK-NASIONAL)
(LMND, PRD,STN,FKPPMS,FPM2SD,AMSI,SRMI)

Minggu, 17 Oktober 2010

Kemiskinan dan Kehancuran Sektor Pertanian akibat Ketidak Mandirian Negara

Dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan SBY hari ini tanpa kita sadari akan membawa bangsa ini pada titik kemiskinan abadi, produk-produk daerah yang merupakan turunan dari program SBY tentunya akan lebih memberikan efek kemiskinan yang lebih dalam lagi seperti Visit Sumbawa-Lombok, TIME, dll yang saat ini sedang gencar di beritakan Pemprov NTB dan hal itu diartikan untuk menarik investor agar berinvestasi sebesar – besarnya di NTB sehingga semakin terampaslah tanah rakyat demi kepentingan asing (Neoliberal). Padahal sebagaian besar pendapatan NTB itu lahir dari sector pertanian. Tetapi sampai hari inipun petani malah dijadikan anak tiri oleh Pemerintah.

Derajat pelaksanaan ekonomi neoliberal saat ini menunjukkan, bahwa di beberapa sektor ekonomi yang penting, modal asing telah mengambil porsi yang lebih besar dibanding modal dalam negeri, misalnya jenis tambang dan migas (± 80%), bank (± 50%), industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal. Perusahaan asing juga menguasai sektor perkebunan, ritel, telekomunikasi, air minum, dan sektor strategis lainnya.

Ekonomi rakyat, yang sekarang ini bertumpu pada pertanian dan usaha-usaha kecil (UKM, industri rumah tangga, dan usaha informal), semakin hancur akibat invasi dari retail-retail bermodal besar, yang sudah bisa masuk ke kampung-kampung. Dan bahkan SBY telah mengatakan dirinya mampu menuntaskan kemiskinan dengan menggunakan criteria miskin versi BPS yang tidak berbobot. Dalam hal pasar ini, sebuah data menunjukkan, bahwa ekonomi nasional atau ekonomi rakyat hanya menempati 20% pangsa pasar nasional, sementara korporasi besar asing dan domestik menguasai 80%.
Belum lagi korupsi yang merusak ekonomi nasional seperti rayap yang memakan tiang-tiang bangunan. Tidak terhitung berapa jumlah anggaran negara yang dimakan koruptor tiap tahunnya, dan itu terjadi merata di seluruh departemen negara, di seluruh tingkatan (pusat hingga daerah), di seluruh pelosok nusantara. Reshuffle cabinet yang hanya akan menjadi tambal sulam politik, sekaligus untuk menata kembali koalisi pendukung pemerintah yang sempat “kacau-balau” karena persoalan Century. Dipastikan, SBY akan menjadikan “reshuffle” sebabagi alat untuk bargain politik dengan rekan-rekan koalisinya, termasuk merangkul kekuatan dari luar untuk bergabung

Kehancuran tenaga Produktif nasional sebagai akibat dari kehancuran industry nasional. Sistem pendidikan nasional yang menghambat akses rakyat miskin untuk bersekolah merupakan cermin dari pendidikan colonial yang diterapkan pada masa Politik Etis. Pada 28 September 2010, pemerintah SBY-Boediono mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaran Pendidikan sebagai jawaban atas Putusan MK yang mengabulkan gugatan terhadap UU BHP. Dalam PP no. 66/2010, pemerintah tetap bersikukuh membatasi kuota mahasiswa miskin di PTN hanya 20% dan status BHMN tetap dipertahankan. Arah dari sistem pendidikan nasional ini sebenarnya tidak lebih hanya untuk memenuhi pasar tenaga kerja murah bagi modal-modal internasional. Sebagai catatan, dari total 104,49 juta angkatan kerja yang ada saat ini, sekitar 55,43 juta diantaranya berpendidikan SD ke bawah dan 19,85 % berpendidikan SMP, 15,43% berpendidikan SMA, 7,19% berpendidikan diploma dan 6,90% yang berpendidikan tinggi (sarjana). Pada kuartal pertama 2010, Badan Pusat Statistik mengeluarkan data bahwa pekerja disektor informal mengalami peningkatan menjadi 68,58% dan sektor formal tinggal 33,75 %. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada 2009 mencatat ada 961.000 sarjana yang menganggur, yang berasal dari 2.900 perguruan tinggi dari berbagai disipilin. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 740.000. Rata-rata peningkatan pengangguran lulusan perguruan tinggi tiap tahun sebesar 216.300.
Masih banyaknya pengangguran di NTB sendiri dikarenakan masih terbatasnya lapangan pekerjaan dan beberapa faktro lainnya seperti putus sekolah, tidak mampu melanjutkan kuliah, dll. Melihat dari itu kita pernah teringat akan program pasangan BARU saat menjadi calon Gubernur NTB bahwa Sekolah dan Kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, tapi nyatanya sampai hari ini masih saja ada pungutan bagi siswa dan meningkatnya biaya kuliah bagi mahasiswa. Padahal dalam pasal 31 UUD 1945 telah tercantum bahwa : Negara bertanggung jawab atas hak setiap warga Negara untuk mendapat pendidikan setinggi – tingginya. Apakah kita sekarang tidak mau merubah diri kita atau diam tertindas.
Disamping itu juga ketergantungan Impor pangan Indonesia membuktikan bahwa kita tidak pernah disentuh pada sektor pertanian. Komoditi gandum dan terigu tingkat importasinya bahkan mencapai 100%, bawang putih (90%), susu (70%), daging sapi (36%), bibit ayam ras (100%), kedelai (65%), gula (40%), kacang tanah (15%), jagung (10%), dan garam (70%).
Disamping itu NTB juga mengalami areal tanaman pangan yang puso mencapai 41.851 hektare. jenis padi sawah yang puso tercatat 6.424 hektare yang tersebar di delapan kabupaten/kota, kecuali Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara.
"Sedangkan padi ladang yang puso tercatat 17.255 hektare yang tersebar di tujuh kabupaten yakni Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Kabupaten Bima. untuk tanaman jagung yang puso pada areal seluas 15.362 hektare, tersebar di enam kabupaten yakni Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Kabupaten Bima.
Areal tanaman kedelai juga puso seluas 1.497 hektare yang tersebar di lima kabupaten yakni Lombok Tengah, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Kabupaten Bima. Untuk areal tanaman kacang tanah yang puso seluas 370 hektare tersebar di Lombok Tengah, Sumbawa dan Kabupaten Bima. Untuk tanaman kacang hijau yang puso seluas 943 hektare menyebar di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa dan Kabupaten Bima,"
Total areal padi dan palawija yang mengalami puso sampai April 2010 di NTB mencapai 41.851 hektare tersebar di delapan kabupaten/kota, terbanyak di Kabupaten Sumbawa dan Bima yang mencapai 28 ribu hektare lebih.
Impor pangan meningkat lebih pesat Ekspor produk negara berkembang yang umumnya produk primer harganya terus turun. Lebih dari separo devisa (hasil ekspor total dikurangi untuk bayar hutang luar negeri) telah dipakai untuk impor pangan.
Dari fakta-fakta tersebut jelas terlihat, kebergantungan kita yang besar terhadap pangan impor bisa menimbulkan persoalan lain yang lebih berat ketika kita benar-benar tidak berupaya untuk bisa swasembada pangan Menjadi Negara Mandiri). Padahal potensi yang kita miliki sangat besar. Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah harus segera bertindak mengatasi persoalan ini.
Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTB menyebutkan potensi lahan pertanian di NTB seluas 1.109.599 hektare, sejauh ini baru dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan seluas 497.893 hektare.
Dari beberapa kejadian yang dialami oleh pertanian NTB dan jumlah lahan pertanian yang masih kosong serta pengelolaan hasil pertanian yang tidak pernah maksimal menjadi bukti pemerintah telah salah mensejahterakan rakyat.
Maka dari itu kami mengatakan Rezim SBY dan Parlemen gagal, Usir Penjajahan Asing, turunkan Harga Kebutuhan Pokok dan Demokratisasi di Indonesia


Selasa, 07 September 2010

Kirim Paket Lebaran, LMND Hadiahi SBY Tabung Gas 3 Kg

JAKARTA: Menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun ini, pengurus Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) mengirim paket kartu lebaran untuk Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono.
Tidak tanggung-tanggung, selain sebuah surat berisi “10 (dasa) derita rakyat Indonesia”, aktivis LMND juga mengirimkan sebuah tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram kepada Presiden SBY melalui  Kantor Pos di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/9).
Menurut Ketua Umum LMND Lalu Hilman Afriandi, pihaknya menggunakan cara ini karena Presiden SBY sangat sulit ditemui oleh rakyat, termasuk gerakan mahasiswa, ketika menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara.
Melalui paket lebaran ini, LMND menyampaikan 10 penderitaan rakyat yang seharusnya dicermati dan dilaksanakan oleh Presiden SBY, antara lain, bersihkan istana dari korupsi, lindungi industri dalam negeri, hapus utang luar negeri, turunkan tarif dasar listrik serta sembako, berikan pendidikan untuk rakyat secara cuma-cuma, kesehatan gratis dan juga transportasi massal layak dan murah untuk rakyat.
Kompor Gas 3 Kilogram
Dalam paket lebaran yang dikirimkan kepada Presiden SBY, LMND mengikutkan tabung gas elpiji 3 kilogram. “Agar presiden SBY juga ikut memakainya serta merasakan kegunaan produk Pertamina itu,” ujar Lalu Hilman.
Selama ini, tabung gas elpiji 3 kilogram sudah menjadi “terror” paling menakutkan bagi rakyat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Ini dapat diibaratkan dengan tindakan pemerintah mengirimkan bom ke rumah-rumah rakyat.
Namun, usaha mengirim paket gas elpiji ini hampir tidak bisa dilakukan, karena  Kepala Kantor Pos Besar Pasar Baru, Batara Tampubolon, menolak menerima paket tabung gas tersebut. “ Ini merupakan benda yang dilarang dalam pengiriman lewat pos,” katanya.
Akhirnya, setelah melalui negosiasi yang sangat alot, pihak kantor Pos bersedia menerima paket tersebut untuk dikirimkan, dengan biaya pengiriman sebesar Rp.12.500. (AN)

Pemerintah Lalai Menuntaskan Kasus Illegal Mining Labaong

Kentalnya muatan politik membonceng berbagai permasalahan rakyat di Sumbawa, kerap kali berujung  kebijakan tidak populer yang diragukan obyektifitasnya. contoh kasus, ulur tarik penyelesaian kasus illegal mining Olat Labaong oleh pemerintah daerah dengan alasan menjaga kondusifitas daerah, sulit dipercaya dan terlalu berlebihan karena terkesan mengada-ada.

Dipandang dari sudut kepentingan aturan, illegal mining tergolong pelanggaran berat, dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun dan denda kurang lebih Rp10 milyar. Sedangkan dari sudut pandang lingkungan, illegal mining tergolong kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh mendapat perlakuan khusus dalam bentuk toleransi, karena zat kimia air raksa (Mercury) yang digunakan pada proses pemisahan pasir emas tanpa pengawasan tekhnis, sama dengan tindakan pembantaian massal secara perlahan-lahan.

Berangkat dari pemahaman gamblang seperti ini, maka illegaal mining tidak ubahnya momok menakutkan yang harus diwaspadai semua pihak khususnya pemerintah wajib menyikapinya dengan serius.

Bayangkan saja, dalam kurun waktu relatif singkat kurang lebih 3 bulan aktifitas illegal mining disatu titik yakni Bukit Olat Labaong kecamatan Lape, sebaran alat pemisah pasir emas yang disebut gelondongan jumlahnya tidak kurang dari 400 unit. Didalam satu unitnya perhari menghabiskan sedikitnya 2Kg mercury. Artinya selama tiga bulan seluruh gelondongan yang ada telah menghabiskan 72.000 Kg mercury, yang rata-rata limbahnya dibuang begitu saja diatas permukaan tanah.

Akibat tidak adanya pengawasan, penertiban dan pembinaan dari pihak pemerintah, maka resiko keselamatan pelaku illegal mining tidak ada jaminan, resiko konflik selalu terbuka dan resiko kerusakan alam pasti terjadi.

khususnya illegal mining Olat Labaong telah terjadi sejumlah kasus diantaranya orang hilang, orang meninggal kekurangan oksigen, orang meninggal karena tertimbun reruntuhan tanah kesemuanya dibungkus rapi oleh pelaku penambangan lainnya agar tidak terekspos keluar. Akibat ketatnya pengamanan oleh kelompok-kelompok penguasa Labaong yang disebut tim panitia, membuat pihak kepolisian, pemerintah dan wartawan kesulitan mengakses informasi dari wilayah tersebut.

Kondisi ini semestinya segara disikapi, karena bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu bagi Kabupaten Sumbawa.

Kami sengaja suguhkan situasi illegal mining Olat Labong kepada pembaca, karena sikap pemerintah daerah setempat apatis, tidak jelas akan bersikap seperti apa. Disatu sisi petinggi daerah terkait menelorkan keputusan menindak tegas pelaku illegal mining, tetapi disisi lain mengulur-ulur waktu dengan alasan menunggu selesainya Pilkada putaran kedua, demi menjaga kondusifitas daerah. "Lantas apa kaitannya Pilkada dengan penertiban illegal mining...? "  mungkin prilaku inilah yang disebut kental muatan politis.

Belasan Massa Demo Polda NTB Terkait Kasus Korupsi JM di KSB

Mataram, Sumbawanews.com.- Kasus RTRW/ RDTRK Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tahun 2004 yang diduga merugikan keuangan Negara sebesar Rp3 Milyar dengan tersangka Mantan Bupati Sumbawa / Mantan Sekda Kabupaten Sumbawa Barat (KSB)  Jamaluddin Malik kembali mengangkat kepermukaan. Setidaknya pada Selasa (7/9) siang pukul 11.00 Wita ini ada belasan aktivis mendemo Polda NTB untuk segera menuntaskan kasus yang sebelumnya di SP3-kan oleh Polda NTB tersebut.

Koordinator Koalisi untuk transparansi anggaran KSB Abbas Kurniawan dalam orasinya menegaskan, kasus ini sudah lama diendapkan oleh Polda NTB dan SP3 yang dkeluarkan oleh Polda NTB tahun 2007 juga terlihat janggal.

"Kami meminta Polda NTB untuk segera menangkap mantan Bupati Kab. Sumbawa tersebut." teriak Abbas didepan pintu gerbang Polda NTB. Selain berorasi, belasan massa ini juga membentangkan spanduk yang bertuliskan " RT/RW KSB rugi 2,5 M, Usut, tangkap dan adili  Jamaluddin Malik."

Kasus yang didiamkan oleh Polda NTB selama hampir 4 tahun ini sebenarnya sudah mendapat titik terang tatkala DPRD KSB periode 2004 -2009 membentuk panitia khusus (PANSUS). Hasil dari pansus tersebut secara jelas menegaskan terjadi penyimpangan dalam proyek RTRW/ RDTRK yang dilaksanakan tahun 2004 lalu.

"Namun dipihak lain, secara diam-diam tahun 2007 Polda NTB melalui Dir Reskrim Drs. I Gst Ngr Rahardja S mengeluarkan surat ketetapan bernomor Pol: S. Tap.102/XI/2007/dit Reskrim tentang penghentian penyidikan kasus RTRW." Jelas Abbas

Surat yang dikeluarkan terburu-buru tersebut ternyata banyak meninggalkan kejanggalan yakni Polda NTB selama proses dalam penyelidikan dan penyidikan tidak pernah menyebut Jamaluddin Malik (JM) sebagai tersangka, padahal JM sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Januari 2007.

"Kejanggalan kedua yakni dalam SP3 yang ditandatangani Dir Reskrim Polda NTB dengan ketetapan bernomor Pol: S. Tap.102/XI/2007/dit Reskrim tentang penghentian penyidikan tindak pidana korupsi (TPK) RDTRK KSB dengan tersangka Jamaluddin Malik pada poit "memperhatikan" angka 1 dengan isi "Berita acara pendapat (resume) hasil penyidikan TPK pada penyusunan rencana detail tata ruang kota (RDTRK) Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2004 yang terjadi pada tanggal 18 Februari 2004 di KSB atas nama tersangka Drs. Jamaluddin Malik (Bupati Sumbawa...)" terlihat jelas adanya kekeliruan tanggal yakni 18 pebruari 2004, padahal pada tanggal tersebut proyek RTRW/RDTRK KSB belum di Swakelolakan / Penunjukkan Langsung." Abbas memaparkan.

Sebelumnya Sumbawanews pernah mengkonfirmasi pada bulan November 2009 ke Polda NTB terkait surat yang dilayangkan Polda NTB ke Presiden RI, ternyata Pihak Polda NTB tidak bisa membuktikan bahwa Polda NTB pernah mengirim surat ijin pemeriksaan tersangka Jamaluddin Malik kepada Presiden RI.

Sementara itu aksi di Polda NTB siang ini tidak berlangsung lama karena beberapa perwakilan massa diterima oleh Kanit II Sat III Ditreskrim Polda NTB, AKP Ferdian  Indra Fahmi, SIK diruang kerjanya.

Abbas Kurniawan dalam pertemuan dengan AKP Ferdian  Indra Fahmi, SIK juga mempertanyakan surat ijin pemeriksaan terangka Jamaluddin Malik kepada Presiden RI.yang pernah dikirim Polda NTB ke Polda NTB tersebut.

"Mana surat presiden sekarang?" tagih Abbas kepada AKP Ferdian.

Sedangkan Ferdian sendiri hanya bisa menjawab seputar kasus RTRW tersebut selesai lebaran mendatang. "Kita perlu lihat dulu berkas perkaranya, baru kita bisa berikan jawaban termasuk mengenai ijin presiden itu." jelas Ferdian kepada perwakilan aksi.(Idham)

Kebebasan berorganisasi dan Kebrutalan Ormas

Kebebasan berorganisasi merupakan salah satu capaian terpenting dari perjuangan rakyat Indonesia melawan rezim militeristik Orde Baru. Situasi organisasi kemasyarakatan sebelumnya terkungkung oleh kebijakan represif yang tercantum dalam paket lima Undang-Undang Politik, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, yang dilengkapi alat-alat kekerasannya. Kini, dalam batas yang relatif lebih longgar, organisasi-organisasi telah bebas didirikan, bebas menghimpun anggota, menentukan arah, tujuan, serta bentuk atau metode perjuangan. Datangnya kebebasan ini telah memperluas kesempatan bagi rakyat untuk membangun inisiatif pendirian organisasi yang mandiri pada berbagai level, sehingga masyarakat memperoleh kesempatan untuk bersosialisasi secara demokratis, serta menemukan pengalaman dan pengetahuan yang berguna bagi perjuangan kolektifnya.
Namun ternyata kebebasan ini juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang anti-demokrasi dan anti persatuan nasional. Mereka membangun organisasi kemasyarakatan—umumnya berbasis primordial—untuk memprovokasi terjadinya konflik antar suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA). Bahkan, dengan dukungan tak langsung berupa pembiaran oleh penguasa, beberapa di antara ormas ini telah berkembang pesat, menjadi terkenal ataupun merekrut anggota dalam jumlah yang cukup besar. Perkembangan ini mengkhawatirkan, karena kebebasan politik menjadi anomali; pengorganisasian politik yang kerakyatan mengalami kemandegan, sementara kelompok milisi yang sempit pikirannya seakan siap memberangus capaian kebebasan politik itu sendiri.
Dalam situasi demikian, kita mendengar keinginan dari sejumlah kalangan dalam lingkaran kekuasaan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah ke-ormas-an. Di antaranya adalah usulan merevisi perangkat rezim orba, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas agar dapat diberlakukan kembali. Banyak alasan sebagai pembenaran. Menteri koordinator bidang politik dan keamanan, Djoko Suyanto, kembali menyebut istilah-istilah karet yang kerap dipakai pada zaman orba, seperti untuk memulihkan “ketentraman dan ketertiban umum” atau membungkam ormas yang “tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah”. Sementara Dirjen Kesbangpol Depdagri, Sudarsono Hardjosoekarto, berdalih rencana revisi ini untuk melindungi ormas dari “ancaman terorisme” dan “pencucian uang”.
Rencana ini menimbulkan tanda tanya baru, apa sesungguhnya motif di balik alasan-alasan yang berbeda tersebut. Sungguhkah obat bagi tindakan-tindakan brutal ormas tertentu adalah digunakannya kembali instrumen hukum untuk mengontrol? Apakah benar Undang-Undang ini nantinya digunakan untuk melindungi ormas dari “ancaman terorisme” dan “pencucian uang”? Kami tidak melihat indikasi-indikasi tersebut. Justru kehadiran peraturan semacam ini dapat menjadi bumerang bagi kekuatan-kekuatan progresif.
Seturut perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 sudah tak layak digunakan, bahkan dengan revisi sekalipun. Karena itu perangkat ini harus dicabut sama sekali, bukan direvisi. Jaminan terhadap kebebasan berorganisasi pun harus dipulihkan oleh negara dengan tidak mengeluarkan produk perundang-undangan yang bertentangan dengan amanat pasal 28 konstitusi Republik Indonesia. Sementara bagi para pelaku tindak kekerasan atau tindakan anti demokrasi yang berlindung di balik ormas-ormas dimaksud, sepantasnya dikenai hukuman langsung ke individu-individu pelaku. Persoalan keberadaan ormas yang berperilaku tidak beradab seharusnya dapat ditangani melalui tindakan tegas pemerintah, tak perlu sebuah undang-undang baru buat mengaturnya.