Aksi

Aksi
NTB

Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi

Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi

Selasa, 07 September 2010

Kirim Paket Lebaran, LMND Hadiahi SBY Tabung Gas 3 Kg

JAKARTA: Menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun ini, pengurus Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) mengirim paket kartu lebaran untuk Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono.
Tidak tanggung-tanggung, selain sebuah surat berisi “10 (dasa) derita rakyat Indonesia”, aktivis LMND juga mengirimkan sebuah tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram kepada Presiden SBY melalui  Kantor Pos di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/9).
Menurut Ketua Umum LMND Lalu Hilman Afriandi, pihaknya menggunakan cara ini karena Presiden SBY sangat sulit ditemui oleh rakyat, termasuk gerakan mahasiswa, ketika menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara.
Melalui paket lebaran ini, LMND menyampaikan 10 penderitaan rakyat yang seharusnya dicermati dan dilaksanakan oleh Presiden SBY, antara lain, bersihkan istana dari korupsi, lindungi industri dalam negeri, hapus utang luar negeri, turunkan tarif dasar listrik serta sembako, berikan pendidikan untuk rakyat secara cuma-cuma, kesehatan gratis dan juga transportasi massal layak dan murah untuk rakyat.
Kompor Gas 3 Kilogram
Dalam paket lebaran yang dikirimkan kepada Presiden SBY, LMND mengikutkan tabung gas elpiji 3 kilogram. “Agar presiden SBY juga ikut memakainya serta merasakan kegunaan produk Pertamina itu,” ujar Lalu Hilman.
Selama ini, tabung gas elpiji 3 kilogram sudah menjadi “terror” paling menakutkan bagi rakyat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Ini dapat diibaratkan dengan tindakan pemerintah mengirimkan bom ke rumah-rumah rakyat.
Namun, usaha mengirim paket gas elpiji ini hampir tidak bisa dilakukan, karena  Kepala Kantor Pos Besar Pasar Baru, Batara Tampubolon, menolak menerima paket tabung gas tersebut. “ Ini merupakan benda yang dilarang dalam pengiriman lewat pos,” katanya.
Akhirnya, setelah melalui negosiasi yang sangat alot, pihak kantor Pos bersedia menerima paket tersebut untuk dikirimkan, dengan biaya pengiriman sebesar Rp.12.500. (AN)

Pemerintah Lalai Menuntaskan Kasus Illegal Mining Labaong

Kentalnya muatan politik membonceng berbagai permasalahan rakyat di Sumbawa, kerap kali berujung  kebijakan tidak populer yang diragukan obyektifitasnya. contoh kasus, ulur tarik penyelesaian kasus illegal mining Olat Labaong oleh pemerintah daerah dengan alasan menjaga kondusifitas daerah, sulit dipercaya dan terlalu berlebihan karena terkesan mengada-ada.

Dipandang dari sudut kepentingan aturan, illegal mining tergolong pelanggaran berat, dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun dan denda kurang lebih Rp10 milyar. Sedangkan dari sudut pandang lingkungan, illegal mining tergolong kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh mendapat perlakuan khusus dalam bentuk toleransi, karena zat kimia air raksa (Mercury) yang digunakan pada proses pemisahan pasir emas tanpa pengawasan tekhnis, sama dengan tindakan pembantaian massal secara perlahan-lahan.

Berangkat dari pemahaman gamblang seperti ini, maka illegaal mining tidak ubahnya momok menakutkan yang harus diwaspadai semua pihak khususnya pemerintah wajib menyikapinya dengan serius.

Bayangkan saja, dalam kurun waktu relatif singkat kurang lebih 3 bulan aktifitas illegal mining disatu titik yakni Bukit Olat Labaong kecamatan Lape, sebaran alat pemisah pasir emas yang disebut gelondongan jumlahnya tidak kurang dari 400 unit. Didalam satu unitnya perhari menghabiskan sedikitnya 2Kg mercury. Artinya selama tiga bulan seluruh gelondongan yang ada telah menghabiskan 72.000 Kg mercury, yang rata-rata limbahnya dibuang begitu saja diatas permukaan tanah.

Akibat tidak adanya pengawasan, penertiban dan pembinaan dari pihak pemerintah, maka resiko keselamatan pelaku illegal mining tidak ada jaminan, resiko konflik selalu terbuka dan resiko kerusakan alam pasti terjadi.

khususnya illegal mining Olat Labaong telah terjadi sejumlah kasus diantaranya orang hilang, orang meninggal kekurangan oksigen, orang meninggal karena tertimbun reruntuhan tanah kesemuanya dibungkus rapi oleh pelaku penambangan lainnya agar tidak terekspos keluar. Akibat ketatnya pengamanan oleh kelompok-kelompok penguasa Labaong yang disebut tim panitia, membuat pihak kepolisian, pemerintah dan wartawan kesulitan mengakses informasi dari wilayah tersebut.

Kondisi ini semestinya segara disikapi, karena bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu bagi Kabupaten Sumbawa.

Kami sengaja suguhkan situasi illegal mining Olat Labong kepada pembaca, karena sikap pemerintah daerah setempat apatis, tidak jelas akan bersikap seperti apa. Disatu sisi petinggi daerah terkait menelorkan keputusan menindak tegas pelaku illegal mining, tetapi disisi lain mengulur-ulur waktu dengan alasan menunggu selesainya Pilkada putaran kedua, demi menjaga kondusifitas daerah. "Lantas apa kaitannya Pilkada dengan penertiban illegal mining...? "  mungkin prilaku inilah yang disebut kental muatan politis.

Belasan Massa Demo Polda NTB Terkait Kasus Korupsi JM di KSB

Mataram, Sumbawanews.com.- Kasus RTRW/ RDTRK Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tahun 2004 yang diduga merugikan keuangan Negara sebesar Rp3 Milyar dengan tersangka Mantan Bupati Sumbawa / Mantan Sekda Kabupaten Sumbawa Barat (KSB)  Jamaluddin Malik kembali mengangkat kepermukaan. Setidaknya pada Selasa (7/9) siang pukul 11.00 Wita ini ada belasan aktivis mendemo Polda NTB untuk segera menuntaskan kasus yang sebelumnya di SP3-kan oleh Polda NTB tersebut.

Koordinator Koalisi untuk transparansi anggaran KSB Abbas Kurniawan dalam orasinya menegaskan, kasus ini sudah lama diendapkan oleh Polda NTB dan SP3 yang dkeluarkan oleh Polda NTB tahun 2007 juga terlihat janggal.

"Kami meminta Polda NTB untuk segera menangkap mantan Bupati Kab. Sumbawa tersebut." teriak Abbas didepan pintu gerbang Polda NTB. Selain berorasi, belasan massa ini juga membentangkan spanduk yang bertuliskan " RT/RW KSB rugi 2,5 M, Usut, tangkap dan adili  Jamaluddin Malik."

Kasus yang didiamkan oleh Polda NTB selama hampir 4 tahun ini sebenarnya sudah mendapat titik terang tatkala DPRD KSB periode 2004 -2009 membentuk panitia khusus (PANSUS). Hasil dari pansus tersebut secara jelas menegaskan terjadi penyimpangan dalam proyek RTRW/ RDTRK yang dilaksanakan tahun 2004 lalu.

"Namun dipihak lain, secara diam-diam tahun 2007 Polda NTB melalui Dir Reskrim Drs. I Gst Ngr Rahardja S mengeluarkan surat ketetapan bernomor Pol: S. Tap.102/XI/2007/dit Reskrim tentang penghentian penyidikan kasus RTRW." Jelas Abbas

Surat yang dikeluarkan terburu-buru tersebut ternyata banyak meninggalkan kejanggalan yakni Polda NTB selama proses dalam penyelidikan dan penyidikan tidak pernah menyebut Jamaluddin Malik (JM) sebagai tersangka, padahal JM sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Januari 2007.

"Kejanggalan kedua yakni dalam SP3 yang ditandatangani Dir Reskrim Polda NTB dengan ketetapan bernomor Pol: S. Tap.102/XI/2007/dit Reskrim tentang penghentian penyidikan tindak pidana korupsi (TPK) RDTRK KSB dengan tersangka Jamaluddin Malik pada poit "memperhatikan" angka 1 dengan isi "Berita acara pendapat (resume) hasil penyidikan TPK pada penyusunan rencana detail tata ruang kota (RDTRK) Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2004 yang terjadi pada tanggal 18 Februari 2004 di KSB atas nama tersangka Drs. Jamaluddin Malik (Bupati Sumbawa...)" terlihat jelas adanya kekeliruan tanggal yakni 18 pebruari 2004, padahal pada tanggal tersebut proyek RTRW/RDTRK KSB belum di Swakelolakan / Penunjukkan Langsung." Abbas memaparkan.

Sebelumnya Sumbawanews pernah mengkonfirmasi pada bulan November 2009 ke Polda NTB terkait surat yang dilayangkan Polda NTB ke Presiden RI, ternyata Pihak Polda NTB tidak bisa membuktikan bahwa Polda NTB pernah mengirim surat ijin pemeriksaan tersangka Jamaluddin Malik kepada Presiden RI.

Sementara itu aksi di Polda NTB siang ini tidak berlangsung lama karena beberapa perwakilan massa diterima oleh Kanit II Sat III Ditreskrim Polda NTB, AKP Ferdian  Indra Fahmi, SIK diruang kerjanya.

Abbas Kurniawan dalam pertemuan dengan AKP Ferdian  Indra Fahmi, SIK juga mempertanyakan surat ijin pemeriksaan terangka Jamaluddin Malik kepada Presiden RI.yang pernah dikirim Polda NTB ke Polda NTB tersebut.

"Mana surat presiden sekarang?" tagih Abbas kepada AKP Ferdian.

Sedangkan Ferdian sendiri hanya bisa menjawab seputar kasus RTRW tersebut selesai lebaran mendatang. "Kita perlu lihat dulu berkas perkaranya, baru kita bisa berikan jawaban termasuk mengenai ijin presiden itu." jelas Ferdian kepada perwakilan aksi.(Idham)

Kebebasan berorganisasi dan Kebrutalan Ormas

Kebebasan berorganisasi merupakan salah satu capaian terpenting dari perjuangan rakyat Indonesia melawan rezim militeristik Orde Baru. Situasi organisasi kemasyarakatan sebelumnya terkungkung oleh kebijakan represif yang tercantum dalam paket lima Undang-Undang Politik, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, yang dilengkapi alat-alat kekerasannya. Kini, dalam batas yang relatif lebih longgar, organisasi-organisasi telah bebas didirikan, bebas menghimpun anggota, menentukan arah, tujuan, serta bentuk atau metode perjuangan. Datangnya kebebasan ini telah memperluas kesempatan bagi rakyat untuk membangun inisiatif pendirian organisasi yang mandiri pada berbagai level, sehingga masyarakat memperoleh kesempatan untuk bersosialisasi secara demokratis, serta menemukan pengalaman dan pengetahuan yang berguna bagi perjuangan kolektifnya.
Namun ternyata kebebasan ini juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang anti-demokrasi dan anti persatuan nasional. Mereka membangun organisasi kemasyarakatan—umumnya berbasis primordial—untuk memprovokasi terjadinya konflik antar suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA). Bahkan, dengan dukungan tak langsung berupa pembiaran oleh penguasa, beberapa di antara ormas ini telah berkembang pesat, menjadi terkenal ataupun merekrut anggota dalam jumlah yang cukup besar. Perkembangan ini mengkhawatirkan, karena kebebasan politik menjadi anomali; pengorganisasian politik yang kerakyatan mengalami kemandegan, sementara kelompok milisi yang sempit pikirannya seakan siap memberangus capaian kebebasan politik itu sendiri.
Dalam situasi demikian, kita mendengar keinginan dari sejumlah kalangan dalam lingkaran kekuasaan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah ke-ormas-an. Di antaranya adalah usulan merevisi perangkat rezim orba, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas agar dapat diberlakukan kembali. Banyak alasan sebagai pembenaran. Menteri koordinator bidang politik dan keamanan, Djoko Suyanto, kembali menyebut istilah-istilah karet yang kerap dipakai pada zaman orba, seperti untuk memulihkan “ketentraman dan ketertiban umum” atau membungkam ormas yang “tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah”. Sementara Dirjen Kesbangpol Depdagri, Sudarsono Hardjosoekarto, berdalih rencana revisi ini untuk melindungi ormas dari “ancaman terorisme” dan “pencucian uang”.
Rencana ini menimbulkan tanda tanya baru, apa sesungguhnya motif di balik alasan-alasan yang berbeda tersebut. Sungguhkah obat bagi tindakan-tindakan brutal ormas tertentu adalah digunakannya kembali instrumen hukum untuk mengontrol? Apakah benar Undang-Undang ini nantinya digunakan untuk melindungi ormas dari “ancaman terorisme” dan “pencucian uang”? Kami tidak melihat indikasi-indikasi tersebut. Justru kehadiran peraturan semacam ini dapat menjadi bumerang bagi kekuatan-kekuatan progresif.
Seturut perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 sudah tak layak digunakan, bahkan dengan revisi sekalipun. Karena itu perangkat ini harus dicabut sama sekali, bukan direvisi. Jaminan terhadap kebebasan berorganisasi pun harus dipulihkan oleh negara dengan tidak mengeluarkan produk perundang-undangan yang bertentangan dengan amanat pasal 28 konstitusi Republik Indonesia. Sementara bagi para pelaku tindak kekerasan atau tindakan anti demokrasi yang berlindung di balik ormas-ormas dimaksud, sepantasnya dikenai hukuman langsung ke individu-individu pelaku. Persoalan keberadaan ormas yang berperilaku tidak beradab seharusnya dapat ditangani melalui tindakan tegas pemerintah, tak perlu sebuah undang-undang baru buat mengaturnya.